Cerpen : LIA LIA LIA
Itu masa lalu, jangan kau bawa kemana mana, taruh saja dimana seharusnya berada” kupikir pikir ada benarnya juga, bukankah masih banyak yang merindukanku dan tulisanku? Bukan orang yang hanya berkata “ Semangat yah” tapi banyak orang yang mendukungku, memberikanku motivasi, bahkan mengirimkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku,
sebuah Novel berjudul “ Daun yang jatuh tak pernah membenci Angin” karangan Tereliye, tak sudi aku melupakan saat saat itu, memegang langsung Novel, bertanda tangan pengirimnya,
tertulis “ Untuk Adik ku tersayang Herman kenangan dari Uli Nurfitri” ahhhh menetes air mata ini, entah apa yang aku rasakan setiap kali aku membacanya, pasti aku menangis, cerita yang sunguh sangat apik dengan pengemasan yang sangat sangat indah, kadang aku berfikir. Aku pasti bisa membuatnya,otak manusia diberikan ilmu yang sama, kemampuan yang sama tinggal bagaimana kita menjalankan dan menggerakannya.
Jam
Weaker, berbunyi sekitar pukul 09.00 terlalu siang ? ahhh tidak juga, aku
sengaja menyetelnya seperti itu, kebiasaanku adalah tidur setelah sholat
Shubuh, memberikan waktu untuk tubuhku istirahat barang sebentar, walau
hitungan Jam. Karena setiap malam lembur mendatangi rumahku, dengan setumpuk
pekerjaan yang belum aku selesaikan, bukannya aku Malas untuk mengerjakan tapi
karena pekerjaan yang sudah sangat banyak, organisasi Sosial, perkantoran dan
lagi Email dari event event kepenulisan yang aku buat. Semuanya berbondong
bondng mengetuk pintu kamar, dengan membawa papan tulisan seperti orang yang
mau demo, dengan tulisan yang bermacam macam, “ selesaikan aku “ “Balas Emailku” “Mana Berkasku” aku hanya
tersenyum menyambutnya. Dengan lantunan dari Shela On 7 “ Lia – lia “ aku mulai
menyelesaikan semuanya.
“aku
tergila-gila dengan bicaranya
lia lia lia
apa kau memikirkan semua yang ku impikan
lia lia lia
ku percayakan masa depan hidupku
di kedua kakimu
tak tergetarkan semua yang menentangmu
lia lia lia “
Lagu
ini yang mengingatkanku tentang seseorang yang sangat Gigih dan berani, namanya
persis seperti judul Lagu itu “ Lia” wanita yang aku kenal lewat Organisasi
Sosial yang aku ikuti itu, menawan hatiku, sifat dan perangainya persis sekali
dengan lirik lagu itu. Membuatku tergila gila. Inilah yang membuatku tenang
dalam menyelesaikan setiap pekerjaan yang menumpuk, ini cerita lama sebenarnya,
namun rasa rasanya, tidak ada salahnya untuk diceritakan kembali. Sabtu tanggal
20 Februari 2014 acara dari Organisasi Sosial bernama Jendela Sahabat membuat
event dengan tema “ Koin Untuk Mereka” aku mendapatkan berita itu dari
Broadcast BBM Lia, aku tersenyum menang, aku pikir inilah saatnya aku bisa
mendekati dan lebih dekat dengan wanita tangguh itu.
Aku membalas Broadcats Message itu :
Herman :“
Kapan ? “
Lia :“
Tanggal 20 Februari kita Kumpul dulu di Masjid Istiqlal “
Herman :“Oke”
Lia :“Oke
Siap, Ditunggu yah”
Aku cek tanggal di Handphone, event tanggal 20
sekarang, baru tanggal 18 ahh masih ada waktu 2 hari untukku bisa memikirkan
bagaimana bisa mendapatkan hati Lia, pekerjaan yang sedari tadi menunggu, aku
tinggalkan begitu saja, aku mengeraskan Volume dari MP3 player, dan ikut
bernyanyi kembali sampai lagu itu habis dimainkan, dan aku ulang lagi, begitu
seterusnya. Tak kupedulikan email yang maju mundur menghampiri komputerku.
“ aku tergila-gila
dengan bicaranya
lia lia lia
apa kau memikirkan
semua yang ku impikan
lia lia lia
ku percayakan masa
depan hidupku
di kedua kakimu
tak tergetarkan
semua yang menentangmu
lia lia lia
aku tergila-gila
jalan pikirannya
lia lia lia
apa kau memikirkan
semua yang ku tawarkan
lia lia lia
ku percayakan masa
depan hidupku
di kedua kakimu
kau dan lingkaran jiwamu
menarik langkah kakiku
bermain dengan hatimu
aku terbakar bahagia... aiaiaiaia...
menarik langkah kakiku
bermain dengan hatimu
aku terbakar bahagia... aiaiaiaia...
Selamat pagi untuk semua pekerjaan tertundaku, aku ingin
mengabarkan bahwa sekarang tepat Tanggal 19 Februari, aku sudah siap dengan
segala sesuatunya, dan juga sudah siap jika nantinya terjadi sesuatu yang membuatku
harus melangkah mundur, dimulai dengan rasa percaya diri aku mencoba
mengirimkan pesan singkat dari BBM ke Lia.
Herman : Assalamualaikum
Lia : Waalaikumsalam
Herman : Gimana buat besok ?
Lia : Besok
tetap berjalan, dengan Admin yang lainnya
Herman : Lia ?
Lia : Aku
nggak ikut, lagi kurang FIT
Herman : Sakit Apa ?
Pesan
terakhir itu hanya berlogo huruf “R” disamping kiri, tanpa pernah ada balasan
lagi,
Esoknya event dimulai, lemas, lunglai ketika melihat yang
lainnya saling berpasangan, sebenarnya Aku juga berpasangan, tapi dengan
Hendra, ahhh orang menyebalkan yang juga menyukai Lia, Sepanjang perjalanan
event itu Hendra selalu menceritakan betapa hebatnya dia bisa mendekati Lia,
bagaimana dia bisa duduk berdua dengan Lia, dan mengobrol dengan Lia, ahhh itu
kebanggaan diri sendiri saja, belum tentu Lia juga menikmatinya, seseorang
menepuk pundakku dari belakang, meledekku, “makannya jangan kelamaan mikir kalo
suka sama orang tuh, langsung saja To The Point” ahhh semakin tidak enak saja ini
hati, aku bisa saja berbicara langsung, jika saja Lia datang dan mengikuti
Event ini. Acara amal yang aku harapkan
berjalan sesuai rencana akhirnya harus dihadapi dengan muka lesu, dan siksaan
dihati mendengarkan celotehan Hendra.
“ Gimana tadi acaranya?” pesan BBM dari Lia mendarat di
handphoneku, Aku balas seperlunya saja “ Lancar” rasa lelah dihati dan pikiran
membuatku mengabaikan siapa yang mengirim pesan tersebut, berhari-hari aku tidak melakukan kontak dengan
Lia, SMS, BBM atau yang lainnya, aku sengaja membisu, berharap Lia akan
mengerti kondisiku dan menanyakan, walau sekedar “ ada apa?” atau “Kamu
kenapa?” ahhhh, itu hanya lamunan singkatku saja, tak ada satupun pertanyaan itu menjadi nyata dan mendarat di
hanpdhoneku, tubuh ini seakan ingin menghantam kasur saja setiap harinya,
berharap mimpi indah dan mungkin Lia akan menyapaku di dalam mimpi. Lia
mengirim beberapa pesan lagi saat aku sudah terbuai mimpi
“Apa kamu merasa kamu berharga? Lalu
bagaimana dengan perasaan orang lain yang mencintai kamu? “ Telingaku mendengar
suara itu dari Tv dikamar, membuatku terbangun, membuka mataku pelan, menatap
sekeliling, Horor sekali, karena sebelum tidur aku tidak menyalakan Tv,
sepanjang mataku memandang tidak ada seorangpun dikamarku, aku langsung
mematikan Tv itu dan melanjutkan tidurku, aku tidak peduli tentang apapun untuk
sekarang, “ mau Tv nyala sendiri mau jalan jalan ke Mall ”Batinku. Baru sekitar
satu menit aku menutup mata. Tv itu menyala lagi. Ahhh apalagi ini. Aku
putuskan untuk beranjak dari tempat tidurku dan mencabut kabel power TV
tersebut, dan mulai kembali memejam mata. Lalu terdengar suara “ Herman ko
dimatiin sih Tv nya?” suara yang sangat familiar ditelingaku, “Ibu?” aku masih
kebingungan, “Iya ini ibu, ibu nggak boleh yah mampir dirumah kamu, sekedar
nonton Tv ajah” aku langsung bangun dan beranjak dari tempat tidurku, memeluk
tubuh ibu, “ ibu Boleh, ibu boleh nonton
Tv dirumah Herman, ibu bahkan boleh bawa pulang Tv nya Bu, Herman kangen sama
ibu” masih memeluk. “terus kenapa dimatikan Tvnya?” terang ibu sambil
melepaskan pelukanku. “ Bukan gitu bu, Herman sangka ibu nggak ada disini,
lagian ibu nggak kasih kabar Herman dulu kalo mau kesini” “Nggak kasih kabar
gimana, orang ibu telepon udah lima kali nggak di angkat” aku mengambil
Handphone dan mengeceknya, ternyata benar ada Lima panggilan tidak terjawab
dari ibu. “Jadi kamu kapan menikah?” ahh pertanyaan itu lagi, “aku rasa bukan
waktu yang tepat untuk membicarakan itu bu?”
“Loh, bukan waktu yang tepat gimana? Umur kamu sekarang bukan lagi belasan tahun Herman, kamu itu udah kepala dua, ya emang udah waktunya dan waktu yang tepat yah sekarang, kamu harusnya lebih mengerti itu.” Aku hanya bisa mengiyakan dengan menundukan kepala. Tak berani melawan atau berargumen dengan ibu, karena aku tau ibu memberikan yang terbaik untuk anaknya, “tapi mau sama siapa?” batinku. Hampir setengah jam ibu membicarakan tentang jodoh dan pernikahan itu, kepalaku masih menunduk. Dan akhirnya menghasilkan kesepakatan yang membuat ibu pulang kerumahnya, bahwa dalam 3 minggu ini aku akan mengenalkan Ibu ke calon Istri yang diinginkannya, tapi Siapa? Yang menjadi harapan terbesar hati sih Lia.
“Loh, bukan waktu yang tepat gimana? Umur kamu sekarang bukan lagi belasan tahun Herman, kamu itu udah kepala dua, ya emang udah waktunya dan waktu yang tepat yah sekarang, kamu harusnya lebih mengerti itu.” Aku hanya bisa mengiyakan dengan menundukan kepala. Tak berani melawan atau berargumen dengan ibu, karena aku tau ibu memberikan yang terbaik untuk anaknya, “tapi mau sama siapa?” batinku. Hampir setengah jam ibu membicarakan tentang jodoh dan pernikahan itu, kepalaku masih menunduk. Dan akhirnya menghasilkan kesepakatan yang membuat ibu pulang kerumahnya, bahwa dalam 3 minggu ini aku akan mengenalkan Ibu ke calon Istri yang diinginkannya, tapi Siapa? Yang menjadi harapan terbesar hati sih Lia.
“Apakah hal yang sulit kujalani adalah mencintai? Atau aku
saja yang terlalu malas untuk mulai mencoba mencintai, apakah daun yang jatuh
HARUS tidak membenci angin?” pesan itu mendarat di Hanpdhoneku tepat jam 20.00
Wib, dari Lia, kutarik keatas untuk melihat pesan yang lainnya.
Lia : Hey,
bagaimana kabarmu?
Lia : besok ada
Event Jendela Sahabat lagi, kamu mau ikut?
Lia : Kamu kenapa? Udah beberapa hari ini
jarang membalas pesan dari saya
bahkan tidak pernah?
Sedikit
tidak percaya ketika itu, Lia menanyakan kabarku? Ini kali pertama dia
mengirimkan pesan seperti itu, aku langsung buru buru membalas pesannya.
Herman : Aku
baik-baik ajah, besok kamu ikut eventnya nggak
Apa masih sakit?,
aku nggak apa-apa ko, Cuma agak sedikit
pusing ajah
Pesan yang
kukirim itu berlogo Ceklist dipingirnya, lalu beberapa menit kemudian, berganti
menjadi huruf R, dan dibawah nama BBMnya tertulis status “ Lia Is Writing
Message”
Lia : Owhhh, aku ikut juga, udah sembuh. Besok ditunggu dimasjid
Istiqlal jam 8.00,
jangan telat.
Ini mungkin
kesempatan keduaku, aku harus bersiap-siap, agar Ibu tidak lagi meributkan
kapan aku menikah, mungkin ini adalah jalannya, aku harus berani.
Lia :
Inget jangan Telat
Pesan terakhir
dari Lia itu membuyarkan lamunanku, melempar pelan Hanpohne ke kasur dan mulai
memejamkan mata.
Selamat
pagi Event yang akan mempertemukan aku dengan Lia, bagaimana kesiapanmu untuk
menyambutku dan Lia bertatap muka, berjalan berdua bersama? Dan bagaimana
dengan persiapan hati Hendra, apakah sudah cukup Kokoh untuk menerima kenyataan Pagi ini, ahhh terlalu awal sepertinya untuk
mengatakan itu, aku masih harus berusaha untuk mendapatkan hati Lia, tapi
bagaimana? Pertanyaan yang selalu akan ada disetiap pekerjaan yang akan aku
lakukan, tapi untuk yang satu ini, aku sudah mempersiapkannya, tinggal
keberanian yang aku butuhkan sekarang. Meraba semua rasa yang mungkin bisa
terjadi saat aku berjalan berdua dengan Lia.
Tepat
pukul 08.00 aku sudah berada di Majid Istiqlal, tapi tidak ada satu orang pun
berada disana. Sudah sekitar satu jam menunggu kerumunan yang bernama Jendela
Sahabat tapi tidak ada tanda-tandanya, aku memutuskan untuk pulang saja, apa
yang aku tunggu? Event apa yang mereka buat jam 08.00 itu, apa ini permainan? Malam
harinya Lia mengirim pesan.
Lia : Hey
Aku tidak
membalasnya, mungkin jari ini sudah malas untuk membalas pesan itu, atau hati
ini sudah mulai lelah dipermainkan, dipermainkan? Apanya yang dipermainkan,
bahkan aku belum selangkahpun maju untuk bermain. Pesan Lia mendarat lagi.
Lia :
Maaf yah soal pesan yang kemarin tentang Event,
itu bukan dari saya, tapi dari Hendra.
Aku tidak memperdulikan
lagi apa yang dikatakannya, mau Hendra yang mengirim pesan mau Neneknya yang
mengirim pesan, aku sudah tidak peduli apapun itu, yang aku inginkan sekarang
adalah, ketenangan. Mungkin untuk beberapa hari kedepan. Kemudian Pesan yang
ketiga mendarat ke Handphone ku lagi.
Lia :
Besok bisa ketemu?
Aku langsung
membalas sinis Pesan itu
Herman : Ini Lia apa Hendra?
Lia tak membalas
pesan itu, tapi langsung membalasnya dengan Menelepon. Tanganku bergetar tak
karuan memegang Handphone, hamper hampir jatuh dari pegangan tangan, “dia
telepon” Batinku, dua kali telepon dari Lia tidak aku angkat. Lia mengirimkan
pesan.
Lia :
Angkat dong
Lia kemudian
membuat Handphoneku berbunyi lagi, dan kali ini aku mantapkan untuk
mengangkatnya.
Lia :
Assalamualaikum
Herman : Walaikum Salam
Lia :
Kenapa Lama sekali?
Aku terdiam
cukup lama, mendengarkan penjelasan dari Lia tentang pesan yang dikirim Hendra
itu, katanya, Hendra menjenguk kerumah sakit beberapa waktu lalu saat dia
sakit, dan melihat lihat isi hapenya, dan mungkin menemukan isi pesan dari
percakapan saya dengan dia, Lia juga kaget ketika melihat isi Pesan tentang
Event itu, dan Lia ingin mengajak aku bertemu agar bisa meminta maaf langsung.
Aku menyanggupinya. Tempatnya di Masjid Istiqlal dengan jam yang sama 08.00
Selamat pagi, mengutip dari Novel
“Sunset Bersama Rosie” karya Tereliya aku selalu mengucapkan Selamat Pagi,
disetiap Paragraf yang baru, Selamat Pagi untuk Siapa? Kali ini Aku ucapkan
Selamat Pagi untuk semuanya, Untuk setiap malam yang Penuh Luka, untuk setiap
Janji yang ku ingkari, dan untuk setiap rasa Lelah hati yang mendera, Kenapa
saya menngucapkan selama pagi? Karena
pagi adalah waktu yang sangat indah dimana semua Luka akan diganti suka, dimana
janji yang ku ingkari akan kutepati, dimana Lelah hati menjadi hilang dan
berganti suka. Inilah waktu yang sangat Indah. Dan bagiku sangat indah, karena
pagi ini akan bertemu dengan wanita yang sangat aku idamkan, hanya berdua,
tanpa Hendra.
“Aku
udah Sampe Istiqlal, kamu dimana” aku mengirim pesan itu ke Lia, beberapa menit
kemudian Lia membalas, “Bentar Lagi” aku menunggu duduk dipelataran Masjid
terbesar se Asia, terlihat Lia melambaikan tangannya dengan membawa tas Koper
besar tepat dari depan mataku memandang.
“Assalamualaikum”
ucapnya ketika sudah berada dihadapanku. Aku melongo sampai Lia mengucapkan
salamnya lagi. Aku menjawabnya Gugup “ Wa…a.alaiku.. Salam”
“
Yuk Jalan” Ajak Lia mulai melangkahkan kakinya.
“
Mau kemana?” tanyaku, “Kerumahku” jawab Lia santai “Kerumah? Mau ngapain”
Batinku, aku tidak berani menayankannya secara langsung, hanya manut (patuh)
mengikuti langkah Lia, “ Kamu bawa Motor?” tanyanya lagi, “Iya” “Motornya
simpen disini dulu, nanti kita naik Angkutan Umum” “Kenapa?” tanyaku penasara,
Lia hanya menjawabnya dengan senyuman, menggangapku sudah mengerti apa yang dia
Maksud.
Sepanjang
Perjalanan,Lia memeluk Koper yang dibawanya, aku berulang kali memintanya untuk
aku bawakan, tapi Lia menolak. di angkutan Umum, aku nyaris tidak pernah mendengarkan
suara Lia lagi, sesekali lia menurunkan Kopernya, diam duduk nyaman, menundukan
kepalanya menatap sebuah buku, ingin sekali aku menanyakan buku apa yang sedang
dia baca, tapi tidak tega mengganggunya, tak lama kemudian Lia menutup bukunya,
menatap ke arahku tersenyum dan kemudian menaikan kopernya lagi dan menatap ke
depan. Sekitar lima belas menit kemudian Lia meminta Supir untuk berhenti, tapi
ini bukan perumahan, ini Rel kereta Api memang ada beberapa rumah yang berdiri
di pinggirannya, tapi tidak layak disebut rumah, bangunannya saja terbuat dari kardus,
“kita
mau ngapain kesini?” aku bertanya sambil mengejar langkah kak Lia
“kita
mampir dulu kesini yah” jawab Lia tersenyum.
“Ka
lia datang, Ka Lia datang” anak anak berseru riang, ketika menatap wajah lia
dan berlari berekerumun melingkari Lia, mengawalnya untuk duduk disebuah Rumah
kardus, anak anak itu usil bertanya tentang saya ke Lia, dan beberapa lagi yang
lainnya bertanya tentang apa yang dibawa
Lia untuk mereka, Lia kemudian mengeluarkan beberapa barang, dari Koper yang
dibawanya, ada berbagai perlengkapan
didalamnya, Tas sekolah, Buku, dan perlengkapan Sekolah Lainya, dan ada
beberapa Mainan, Anak anak yang
mengerumuni Lia serentak Berbaris Rapi mengantri pembagian barang barang yang
dibawa Lia. Setelah semuanya kebagian, Anak anak itu kemudian lari masuk
kerumah kardusnya masing masing, aku sempat bertanya tentang ini, “Bukankah ini
kegiatan Jendela Sahabat?” “Iya, ini memang kegiatan Jendela sahabat” Lia
menjelaskan panjang lebar, tentang kegiatannya ini, katanya ini memang kegiatan
dari Jendela Sahabat, tapi Jendela Sahabat tidak mengadakannya setiap Minggu,
rasa rasanya seperti Candu untuk kembali dan terus kembali melakukannya,
membantu dan terus membantu itu adalah tugas kita sebagai orang yang mampu. Aku
terbayang bagaimana gigihnya seorang
wanita yang sangat peduli akan keadaan orang lain.
“Yuk
kita kerumah” Lia mengajakku berdiri, dan kali ini Lia memberikan Koper yang
sudah kosong itu untuk aku bawakan, aku Protes “ Loh, kan sudah Kosong, kenapa
nggak bawa sendiri saja” biar sama sama
dapet pahala jawabnya pelan, terus berjalan kemudian menghentikan angkot lagi.
Seperti biasa Lia mengeluarkan buku ada ditasnya buku yang sama, aku
memberanikan diri untuk menanyakannya, “100 hari mengejar Sakinah” Lia menjawab
Pelan dan Tersenyum, aku semakin penasaran, Lia kemudian menjelaskan lagi, “Buku
ini buatan seorang teman dari Facebook namanya akunya Mahmud Zaelani Abdul
Qohar, buku ini belum sempurna katanya, tapi menurut Lia udah sempurna ko” aku
tersenyum, “100 Hari mengejar Sakinah” Batinku.
Beberapa
menit kemudian Lia meminta Supir untuk berhenti dan berjalan memasuki Gang
Rumah, Kali ini benar benar Rumah, Rumah mewah disana sini, Lia berjalan
melewati beberapa Rumah sebelum akhirnya, masuk kerumah dengan Nomer 64 A,
Rumahnya besar sekali, belakangan aku baru tahu bahwa Lia membawaku kerumahnya
adalah untuk bertemu dengan Ayah dan Ibunya. Lia diminta Masuk ke kamar, dan
mempersilahhkan aku duduk.
Terjadri
perbincangan antara saya dan Ayah Lia, diantara menanyakan tentang pekerjaan,
dan kegiatan sehari hari, tidak ketinggalan menanyakan tentang keluargaku, aku
menjawabnya dengan santai, tak ada satupun rasa ketakutan menghadapinya. Hingga
Akhirnya Ayah Lia mengatakan bahwa besok ingin bertemu dengan orang tuaku, aku
sedikit mencubit pipiku ketika mendengar itu, “Ini Mimpi?”batinku, “mau Ibu cubit lagi, biar
terasa sakitnya?” Seru Ibu Lia, Ayah Lia dan Aku tertawa mendengar itu. Tepat
Pukul 13.00 aku mengambil Motor di parkirkan Masji Istiqlal setelah pulang dari
Rumah Lia, aku langsung menelepon Ibu, bahwa besok akan ada yang main kerumah,
satu keluarga. Ibu Langsung mengucap Syukur, nanti jam 9.00 aku anter mereka
kerumah Ibu, Kataku kemudian mengucap salam dan menutup Telepon.
Selamat Pagi hari yang indah, kali ini aku akan menjemput
satu keluarga yang nanti akan menjadi keluargaku juga, ini adalah hasil dari
kesabaranku menanti Jodoh pikirku, mendapatkan Jodoh seperti Lia, wanita yang
sangat tangguh, cantik. Dengan Mobil
Rental aku menjemput Keluarga Lia, Lia tidak dijinkan ikut oleh Ayahya, dan
diminta untuk tinggal dirumah, sepanjang
perjalanan kerumah Ibuku, Ayah dan Ibu Lia terus menanyakan bagaimana aku bisa
menaklukan Hati Lia, sampai Lia membawaku untuk menemui mereka berdua, aku
binggung juga untuk menjawabnya, karena tak satupun usaha yang kulakukan, aku
hanya mengaguminya dari jauh. Ayah dan Ibu Lia saling menatap dan kemudian
tersenyum. Aku juga sebenarnya penasaran apa yang membuat Lia sampai bisa
mengenalkan ku dengan kedua orang tuanya.
Mobil kuparkirkan didepan Rumahku yang sederhana, kubukakan
Pintu Mobil dan mempersilahkan Ayah dan Ibu Lia untuk masuk kedalam rumah,
didepan ibu sudah menyambut dengan Ayah disampingnya, pertemuan kedua orang tua
itu berlangsung lama sekitar dua jam, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Setelah aku mengatar Ayah dan Ibu Lia pulang kembali kerumah, aku menelpon Ibu
menanyakan perihal pembicaraan itu, ibu mengatakan, nanti sabar satu bulan lagi
kamu akan menikah dengan Lia, kita sudah sepakat tentang Tanggalnya. Tapi
tanggal berapa,tanyaku ibu hanya menjawab tanyakan saja pada Lia, dia yang
menetapkan. Kemudian datang pesan BBm dari Lia.
Lia : nanti tanggal 30 September Kita
menikah, kamu persiapkan segala
sesuatunya, orang tua kita berdua sudah setuju.
Herman : 30 September? Oke aku akan
mempersiapkannya, tapi boleh aku
Tanya sesuatu?
Tanya sesuatu?
Lia : Boleh Mas
Herman : Apa yang membuatmu memilihku?
Bukannya Hendra lebih baik?
Lia : Apa yang bisa aku harapkan
Mas, Hatiku sudah memilih kamu, dan Sang Pemilik hati pun Memilihmu, Setiap
malam aku selalu memanjatkan doa, manakah yang terbaik untuk ku dan keluargaku,
dan pilihannya adalah Kamu mas.
Herman : Tapi bukankah kita baru mengenal beberapa
hitung bulan saja, semenjak aku bergabung dengan Jendela Sahabat?
Lia : Lalu apa bedanya, rasa
cinta yang hakiki hanya bisa tumbuh diatas Pernikahan Mas, dan aku memilihmu,
owhh yah selama satu bulan ini kita tidak dijinkan bertemu, aku mengijinkan kamu
masuk kedalam hatiku, tolong kamu jaga dengan baik Mas.
Herman : Yahh, aku janji aku akan menjaganya
dengan Baik.
Itulah ceritaku tentang Lia, wanita
yang sangat Tangguh dalam menghadapi kehidupan, selalu sederhana walaupun hidup
berkecukupan, Wanita yang indah itu sekarang Menjadi Istriku.
Tidak ada komentar untuk "Cerpen : LIA LIA LIA"
Posting Komentar